- Harga minyak mentah dunia terpantau mengalami lonjakan akhir-akhir ini dipicu oleh rencana pemangkasan produksi dari negara eksportir minyak (OPEC)+.
- OPEC+ yang memutuskan rencana memangkas produksi minyak mentah lebih lanjut sekitar 1,16 juta barel per hari.
- Keputusan OPEC ini tentu saja membuat banyak negara pusing mengingat harga minyak mentah bisa melonjak, terutama negara pengimpor minyak.
Harga minyak mentah dunia terpantau mengalami lonjakan akhir-akhir ini dipicu oleh rencana pemangkasan produksi dari negara eksportir minyak (OPEC)+.
Mendidihnya harga minyak mentah dunia ini terjadi pasca kabar mengejutkan dari negara-negara penghasil minyak yakni OPEC+ yang memutuskan rencana memangkas produksi minyak mentah lebih lanjut sekitar 1,16 juta barel per hari.
Sebab itu, wajar saja ada negara yang ‘ketar-ketir’ jika hal ini terjadi sebab, total volume pemotongan oleh OPEC+, kelompok organisasi negara eksportir minyak dengan Rusia dan sekutu lainnya, menjadi 3,66 juta barel per hari menurut perhitungan. Jumlah tersebut setara dengan 3,7% dari permintaan global.
Keputusan OPEC ini tentu saja membuat banyak negara pusing mengingat harga minyak mentah bisa melonjak, terutama negara pengimpor minyak.
Mengacu pada Refinitiv, Dalam sepekan, harga minyak kontrak jenis Brent terpantau melesat 6,71% secara point-to-point (ptp) ke US$ 85,12 per barel. Dengan ini koreksi terpangkas menjadi 0,92% secara tahunan.Sepanjang pekan ini, minyak jenis Brent ini tercatat tidak pernah mengalami koreksi.
Sedangkan untuk minyak kontrak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) terpantau turut melesat 6,65% ke US$ 80,70 per barel. Ini juga membawa harganya menguat 0,55% dalam setahun terakhir.
Menurut para analis, importir minyak utama seperti India, Jepang dan Korea Selatan akan merasakan ‘sakit’ yang paling parah jika harga mencapai US$ 100 per barel.
Pekan lalu, OPEC+ mengumumkan pengurangan produksi sebesar 1,16 juta barel per hari, Ini merupakan langkah mengejutkan yang tidak diharapkan oleh pasar minyak.
“Ini adalah pajak bagi setiap ekonomi pengimpor minyak,” kata Pavel Molchanov, direktur pengelola bank investasi swasta Raymond James dikutip dari CNBC Internaional.
“Bukan AS yang paling merasakan sakit dari minyak US$ 100, melainkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya minyak domestik: Jepang, India, Jerman, Prancis … untuk menyebutkan beberapa contoh besar,” kata Molchanov.
Pemotongan sukarela oleh negara-negara kartel minyak akan dimulai pada Mei dan berlangsung hingga akhir 2023.
Baik Arab Saudi maupun Rusia akan memangkas produksi minyak sebesar 500.000 barel per hari hingga akhir tahun ini, sementara anggota OPEC lainnya seperti Kuwait , Oman, Irak, Aljazair dan Kazakhstan juga mengurangi produksi.
Negara-Negara Sangat Bergantung Pada Impor Minyak
“Wilayah yang paling terpukul oleh pemotongan pasokan minyak dan lonjakan harga minyak mentah terkait adalah wilayah dengan tingkat ketergantungan impor yang tinggi dan pangsa bahan bakar fosil yang tinggi dalam sistem energi primer mereka.
“Jika minyak naik lebih jauh, bahkan minyak mentah Rusia yang didiskon akan mulai mengganggu pertumbuhan India” kata direktur Grup Eurasia, Henning Gloystein.
Artinya, yang paling terekspos adalah industri pasar negara berkembang yang bergantung pada impor, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, serta industri berat yang sangat bergantung pada impor di Jepang dan Korea Selatan.
India
India merupakan konsumen minyak terbesar ketiga di dunia, dan telah membeli minyak Rusia dengan diskon besar sejak sanksi dijatuhkan pada Rusia sebagai tanggapan atas invasinya ke Ukraina.
Menurut data pemerintah, impor minyak mentah India naik 8,5% pada Februari dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Meskipun mereka masih mendapat untung dari potongan harga gas Rusia, mereka sudah dirugikan oleh harga batu bara dan gas yang tinggi,” kata Gloystein.
Maka, jika minyak naik lebih jauh, bahkan minyak mentah Rusia yang didiskon akan mulai mengganggu pertumbuhan India.
Jepang
Minyak adalah sumber energi paling signifikan di Jepang, dan menyumbang sekitar 40% dari total pasokan energinya.
“Tidak memiliki produksi dalam negeri yang menonjol, Jepang sangat bergantung pada impor minyak mentah, dengan antara 80% hingga 90% berasal dari kawasan Timur Tengah,” kata Badan Energi Internasional (IEA) dalam sebuah catatan.
Korea Selatan
Demikian pula untuk Korea Selatan, minyak merupakan bagian terbesar dari kebutuhan energinya, menurut perusahaan riset independen Enerdata. Diketahui, Korea Selatan dan Italia lebih dari 75% bergantung pada minyak impor.
Lantas, Bagaimana Dampak Terhadap Ekonomi Negara Berkembang?
Beberapa pasar negara berkembang yang “tidak memiliki kemampuan mata uang asing untuk mendukung impor bahan bakar ini,” akan terkena dampak negatif dari label harga US$ 100.
Menurut Molchanov dia mengungkapkan bahwa Argentina, Turki, Afrika Selatan, dan Pakistan sebagai ekonomi potensial yang akan terpukul. Ditambah lagi Sri Lanka, yang tidak memproduksi minyak di dalam negeri dan 100% bergantung pada impor, juga sangat rentan terkena dampak yang lebih parah.
“Negara-negara dengan mata uang asing paling sedikit dan importir akan paling terpukul karena harga minyak dalam dolar AS,” kata pendiri Energy Aspects, Amrita Sen, yang menambahkan bahwa biaya impor akan naik lebih jauh lagi jika greenback menguat.
Di sisi lain, harga US$ 100 per barel tidak akan permanen. Namun, sementara US$ 100 per barel mungkin berada di cakrawala, titik harga yang lebih tinggi mungkin tidak bertahan lama.
“Dalam jangka panjang, harga bisa lebih sesuai dengan keadaan kita saat ini. Begitu minyak mentah mencapai US$ 100 per barel dan bertahan di sana sebentar, itu mendorong produsen untuk benar-benar meningkatkan produksi lagi,” kata Gloystein.
Indonesia Kudu Waspada?
Peningkatan harga minyak yang signifikan akibat rencana OPEC ini dikhawatirkan bakal memberikan tekanan terhadap kondisi fiskal, moneter, dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Dengan posisi sebagai net oil importer, porsi ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap migas cukup besar.
Dengan ketergantungan Indonesia terhadap migas tersebut ditambah harga minyak yang terus naik, memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan migas nasional.
Peningkatan harga minyak mentah dunia tentunya berdampak terhadap APBN. Secara keseluruhan kenaikan harga komoditas termasuk Indonesian Crude Price(ICP), memang berdampak positif terhadap pendapatan negara, terutama PNBP.
Namun demikian, kenaikan harga komoditas juga berdampak terhadap belanja negara. Terutama subsidi energi yang menjadikan ICP menjadi salah satu parameter utama dalam perhitungannya
Dengan kenaikan harga minyak, pemerintah harus terus memantau pergerakan harga minyak dunia dan mengukur dampaknya terhadap APBN.
Hal ini untuk mempersiapkan langkah kebijakan yang diperlukan secara menyeluruh dengan melihat dari sisi potensi penerimaan negara, beban terhadap belanja negara serta konsekuensi terhadap pembiayaan anggaran.
Realisasi subsidi energi dan kompensasi bengkak hingga menjadi Rp 551,2 triliun pada 2022. Subsidi tersebut setara dengan 17,9% dari total belanja negara pada tahun lalu.
Realisasi subsidi energi pada 2022 juga menembus 109,7% dari yang direncanakan dalam Perpres 98/2022 yakni Rp 502,4 triliun.
Realisasi tersebut juga hampir tiga kali lipat dibandingkan pada realisasi tahun 2021 yang tercatat Rp 188,3 triliun. Juga, melonjak tajam dibandingkan pada 2020 (Rp 108,8 triliun) dan 2019 (Rp 144,4 triliiun).